Apakah Ujian Nasional (UN) Melanggar Pancasila?
Saat ini Pemerintah sedang didesak untuk mengembalikan kembali proses penentuan kelulusan siswa dengan menggunakan metode Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebta). Sementara itu, menurut Slamet Sutrisno, pengamat pendidikan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta , berpendapat bahwa metode penentuan menggunakan Nilai Ebtanas Murni (NEM) akan dapat meminimalisasi perilaku tidak jujur dari para guru.
Oleh sebab itu, kepada pemerintah Slamet menuntut untuk meninjau kembali penentuan kelulusan siswa dengan Ujian Nasional (UN). “Secara filosofi konseptual, UN tidak mencerminkan pendidikan nilai karakter yang saya anggap anti nilai Pancasila,” jelas Slamet dalam diskusi implementasi pelaksanaan kurikulum 2013 dengan para guru dan tokoh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, seperti dikutip dari laman UGM, Kamis (9/5/2013).
Sistem pendidikan nasional juga dikritisi oleh Slamet dinilai membuat kegiatan belajar di sekolah menjadi teralienasi. Hal ini terbukti dari minimnya interaksi antara siswa dan guru di luar jam sekolah.
“Semua ini disebabkan oleh beban birokratisasi administratif yang harus dipikul oleh guru. Dahulu, kunjungan guru ke rumah murid suatu keniscayaan, sekarang guru SD saja harus menyelesaikan administrasi dalam 35 jenis,” imbuh dosen fakultas filsafat UGM itu.
Selain itu, menurut Slamet, sertifikasi untuk para guru dituding sebagai penyebab penurunan kualitas pendidikan nasional. Pasalnya, para guru berlomba-lomba mengejar materi untuk mengejar sertifikasi sehingga mengurangi waktunya dalam mendidik siswa, baik di lingkungan atau luar sekolah.
Sikap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sangat disayangkan karena tidak terbuka menerima evaluasi pelaksanaan ujian nasional dari masyarakat. Selain itu, kurikulum 2013 yang mulai diberlakukan pada Juni 2013, dinilai hanya ajang ujicoba untuk peserta didik. Apalagi seakan menjadi kebiasaan pemerintah mengganti kurikulum setiap pergantian menteri.
Siti Rahayu, guru SMA Angkasa Adisutjipto, ikut berpendapat, menurutnya UN tidak layak dijadikan penentu kelulusan siswa. UN seharusnya menjadi alat untuk memetakan kualitas setiap sekolah di Indonesia. “Kelulusan harusnya ditentukan oleh sekolah itu sendiri,” ungkap Siti.
Oleh sebab itu, kepada pemerintah Slamet menuntut untuk meninjau kembali penentuan kelulusan siswa dengan Ujian Nasional (UN). “Secara filosofi konseptual, UN tidak mencerminkan pendidikan nilai karakter yang saya anggap anti nilai Pancasila,” jelas Slamet dalam diskusi implementasi pelaksanaan kurikulum 2013 dengan para guru dan tokoh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, seperti dikutip dari laman UGM, Kamis (9/5/2013).
Sistem pendidikan nasional juga dikritisi oleh Slamet dinilai membuat kegiatan belajar di sekolah menjadi teralienasi. Hal ini terbukti dari minimnya interaksi antara siswa dan guru di luar jam sekolah.
“Semua ini disebabkan oleh beban birokratisasi administratif yang harus dipikul oleh guru. Dahulu, kunjungan guru ke rumah murid suatu keniscayaan, sekarang guru SD saja harus menyelesaikan administrasi dalam 35 jenis,” imbuh dosen fakultas filsafat UGM itu.
Selain itu, menurut Slamet, sertifikasi untuk para guru dituding sebagai penyebab penurunan kualitas pendidikan nasional. Pasalnya, para guru berlomba-lomba mengejar materi untuk mengejar sertifikasi sehingga mengurangi waktunya dalam mendidik siswa, baik di lingkungan atau luar sekolah.
Sikap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sangat disayangkan karena tidak terbuka menerima evaluasi pelaksanaan ujian nasional dari masyarakat. Selain itu, kurikulum 2013 yang mulai diberlakukan pada Juni 2013, dinilai hanya ajang ujicoba untuk peserta didik. Apalagi seakan menjadi kebiasaan pemerintah mengganti kurikulum setiap pergantian menteri.
Siti Rahayu, guru SMA Angkasa Adisutjipto, ikut berpendapat, menurutnya UN tidak layak dijadikan penentu kelulusan siswa. UN seharusnya menjadi alat untuk memetakan kualitas setiap sekolah di Indonesia. “Kelulusan harusnya ditentukan oleh sekolah itu sendiri,” ungkap Siti.